2015/05/04

Rakyat yang Iri dan Politisi yang Insecure - Model Yardstick Competition (Mengenang Skripsi)


Latar Belakang: Pertama, saya menyapa pembaca blog ini yang makin hari makin sedikit (gara-gara penulis blog ini yang makin malas menulis). Maka dari itu, saya kembali menulis lagi yang sekiranya saya saya cukup paham. Kali ini saya mau cerita tentang topik skripsi saya. Skripsi ini diolah datanya kira-kira setahun yang lalu di dataran tinggi daerah Semarang (Banyumanik: red) dan dipikirkan sudah setahun sebelum waktu itu. Haha.

Tujuan: Menjelaskan pada public secara sederhana skripsi saya itu mengenai apa (abaikan).

Metode: Tenang, tidak akan ada equation atau grafik di tulisan ini. Hanya narasi.

---

Skripsi saya masuk dalam ranah ekonomi apa? Publik? Mikro? Regional? Well, sekiranya ditanya seperti itu saya juga bingung, dahulu yang penting saya menulis saja. Saya ngakunya kalau skripsi ini masuk ranah political economics. Eits, jangan salah sangka, yang saya maksud political economics adalah yang lebih dekat pada public choice (teori pilihan publik). Apa itu? Singkatnya, ini adalah salah satu kajian yang membahas perilaku pemilih, politisi, birokrasi, proses politik dalam kerangka ekonomi mikro (suatu saat kalau sempat saya akan jelaskan panjang lebar). Kerangka ekonomi mikro seperti apa? Ya begitulah hehe... Makin panjang ceritanya. Anggap saja bahwa politisi itu rasional ingin utilitasnya optimum, begitu juga pemilih ingin kesejahteraannya paling optimum. (Lihat tulisan saya yang ini dan ini)

Ok. Kita mulai ceritanya. Pada tahun 1995, dua orang ahli ekonomi Timothy Besley dan Anne Case mempublikasikan paper mereka di jurnal ekonomika ternama, The American Economic Review (AER) dengan judul Vote-Seeking, Tax-Setting, and Yardstick Competition (sebenarnya sudah dipublikasi 3 tahun sebelumnya sebagai working paper di NBER). Model yang mereka tulis merupakan model utama yang saya acu dalam skripsi ini. Bagaimana modelnya?

Kisah Ibu Risma dan Ridwan Kamil
http://citraindonesia.com/wp-content/uploads/2014/02/walikota-surabaya-tri-rismaharini-foto.siagaco-700x250.jpg
Sumber Gambar: http://citraindonesia.com/rismaharini-ditelpon-sby-bu-risma-jangan-mundur/

Pembaca mesti pernah mendengar nama kedua orang walikota tersebut. Ya, mereka adalah pemimpin yang sering disiarkan oleh media mengenai kebijakan-kebijakannya berkaitan dengan pengembangan kota mereka. Banyak kebijakan mereka yang dianggap berhasil dan mampu membawa banyak penghargaan bagi kedua orang itu dan masing-masing kotanya.
Misal:

Beberapa cuitan (twit), status FB, dan obrolan bersama teman menyiratkan bahwa banyak warga di wilayah lain iri dan berangan-angan punya pemimpin seperti itu. Mereka juga ingin kota mereka juga dikelola sebagaimana kedua pemimpin tersebut mengelola Bandung dan Surabaya. Apa yang terjadi? Artinya, ada spillover informasi hasil dari siaran media dan obrolan orang dimana-mana. Orang-orang mulai sadar bahwa “Bupati keren itu kaya gitu”, “Walikota di daerah X hebat ya”, "kapan punya pemimpin kaya gitu yaaa".

Apa yang selanjutnya terjadi?

Model Yardstick Competition

Preferensi masyarakat tentu saja akan dipengaruhi oleh fenomena ini. Masyarakat bisa saja memiliki bahwa “Walikota seperti itu yang keren” “Gubernur itu harusnya begitu”. Hal ini akan disadari pertama kali oleh para politisi yang sedang menduduki jabatan, atau petahana (incumbent).

Petahana akan merasa insecure. Why? Ingat, jika preferensi masyarakat berubah seperti yang sudah dibahas, maka akan ada kemungkinan jika ada politisi penantang yang akan berkampanye seperti Walikota yang keren itu, maka kemungkinan ia bisa kalah (asumsinya dia ingin maju kembali pada periode kedua).

(Ingat: asumsi dalam model ini adalah pemilih rasional dan akan memilih kembali  seorang petahana berdasarkan kinerja pada periode berikutnya sebelumnya).

Hal yang berikutnya akan terjadi adalah petahana yang merasa bahwa para rakyat suka dengan kebijakan atau sosok di daerah lain, misalnya Ibu Risma, akan memilih untuk mengadopsi kebijakan serupa. Hal ini dilakukan karena akan meningkatkan probabilitas terpilihnya kembali pada periode keduanya.

Jadi, informasi mengenai kebijakan B yang mengalir melalui berbagai media akan mempengaruhi preferensi rakyat/pemilih. Pemilih di daerah, misalnya daerah A, yang menilai bahwa kebijakan di daerah B itu baik, akan secara relatif membandingkan bagaimana kebijakan di daerah A dengan daerah B. Kemudian evaluasi itu menjadi dasar ia akan memilih kembali atau tidak jika pemimpin di daerah A maju di periode kedua.

Petahana yang ingin maju kembali dan merasa insecure apakah terpilih kembali atau tidak, karena menyadari bagaimana rakyat menilai ia secara relatif, akan berperilaku oportunistik. Sebab ingin dipilih kembali, ia akan secara pragmatis mengadopsi saja kebijakan di daerah lain tersebut. Penjelasan sederhananya begitu.

Kemudian, hal yang terjadi adalah adanya fenomena kebijakan antar daerah yang serupa yang berdekatan atau terkait. Misalnya daerah X mengeluarkan kebijakan untuk Kartu Sehat Gratis (KSG), daerah Y akan memiliki kebijakan serupa dengan nama Kartu Sehat Tidak Bayar (KSTB). Misalnya daerah Q memperbaiki jalan kota dengan memperbaiki jalannya, maka daerah R akan melakukan hal serupa. (Mengapa yang berdekatan? Dalam model ini diasumsikan bahwa yang lebih dekat informasinya lebih mudah mengalir, sehingga probabilitasnya lebih besar).

Prediksi dari model ini adalah hadirnya seorang pemimpin yang bagus dalam hal kebijakannya di suatu daerah akan mendorong pemimpin di daerah lain untuk bagus pula dalam kebijakannya atau ia akan tersingkir dari panggung politik di periode kedua.

Bagaimana cara membuktikan hal tersebut?

Secara intuitif, sederhana saja. Kita dapat melihat bagaimana kebijakan dinamika antar waktu di beberapa daerah yang saling berdekatan. Misalnya ilustrasi bahwa kebijakan di daerah Q mengenai perbaikan jalan diikuti oleh daerah R, maka kita bisa lihat bagaimana kecenderungannya di pola anggaran atau misalnya total jalan yang dibangun. Jika memang benar adanya, maka peningkatan alokasi anggaran untuk infrastruktur jalan di daerah Q diikuti dengan peningkatan alokasi anggaran yang serupa di daerah R. Bagaimana teknis ekonometrikanya akan saya bahas kapan-kapan saja, kata kuncinya adalah: spatial econometrics, spatial lag model, spatial autoregressive. Silahkan digoogling. Hehehe… (Besley dan Case menggunakan kebijakan pajak daerah untuk melihat bagaimana model yardstick bekerja di Amerika Serikat).

Tunggu dulu. Ekonometrika spatial tidak bisa menjawab satu masalah yang diajukan dosen pembimbing sewaktu saya skripsi dahulu. Inti dari masalah yang ia ajukan begini. (Oh iya, waktu itu saya sudah membawa output Stata yang berisi hasil regresi dan mengajukannya, dan kemudian muncul masalah yang membuat saya susah tidur dan tetap bisa makan).

Bagaimana kita memisahkan pengaruh kebijakan yang benar-benar dilakukan oleh petahana sebagai reaksi atas perubahan preferensi pemilih dengan kebijakan yang kebetulan mirip atau yang ada campur tangan dari pusat? Kebijakan dari pusat misalnya minimum anggaran pendidikan 20 persen untuk APBN maupun APBD, otomatis akan meningkatkan secara simultan anggaran pendidikan di berbagai daerah. Misalnya di daerah tenggara setiap awal tahun ada banjir sehingga pemerintah-pemerintah di wilayah harus mengalokasikan sebagian anggaran untuk banjir tersebut. Hal ini bisa menyebabkan estimasi model menjadi bias, seolah-olah terjadi fenomena yardstick competition padahal karena sebab lain, sehingga harus ada spesifikasi model yang mendekati dengan tujuan penelitian. Tujuannya adalah mengestimasi perubahan alokasi belanja (atau pajak) yang terkait dengan proses politik yardstick ini (proses politik iri-insecure. Petahana yang ingin terpilih kembali dan pemilih yang iri akan kebijakan daerah lain).

Bagaimana saya melakukannya akan dilanjutkan pada tulisan berikutnya saja terkait masalah teknisnya. Hehe. Awal-awal ini diskusi soal topiknya saja dulu.

- (Bagi yang mau baca skripsi saya bisa datang ke perpus FEB Undip lantai 2 atau di prosiding konferensi ISEI XVII Ternate; promosi detected)

- Ide Yardstick Competition ini dikembangkan di bidang Industrial Organization untuk membahas dinamika penentuan harga dan kelayakannya (CMIIW) dan dibahas pertama kali di bidang ekonomi publik-ekonomi politik oleh Pierre Salmon pada 1987, Besley dan Case adalah pihak yang membuat model formalnya dengan Game Theory. Skripsi saya juga membahas beberapa skenario game yang berbeda dengan Besley dan Case (1995). 

- Tambahan: model Yardstick Competition ini bisa dianggap sebagai model alternatif dari model desentralisasi Tiebout (1956) ketika asumsi-asumsi dalam model vote with their feet tidak applicable, misalnya mobilitas penduduk.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar