Saya senang ketika Chatib Basri
(Akademisi UI, sekarang Senior Fellow Harvard Kennedy School) kembali menulis analisis ekonominya di
media (setelah beberapa tahun menjadi pengambil kebijakan). Saya selalu
mengikuti analisisnya di media sejak jaman kuliah semester awal dulu. Mengapa saya menyukai tulisannya?
Pertama, karena gaya menulisnya
keren. Kedua, menurut saya tulisan-tulisannya tajam dan memiliki perspektif
menarik, namun tetap berlandaskan Ilmu Ekonomi. Kenapa saya gunakan ‘namun’ adalah
karena saya merasa ‘jarang’ menemukan pengamat yang menulis di media yang
menggunakan kerangka Ilmu Ekonomi. Bukan berarti tidak ada. Ada beberapa ekonom,
tapi tidak banyak menurut saya. Tidak usah pusing dengan definisi 'banyak', Ya?
Dalam hal ini, tulisan yang
ditulis Chatib Basri selalu mengajukan analisis masalah, kemudian mengajukan
beberapa alternatif pilihan kebijakan dan mengajukan batasan-batasan apa saja.
Bukankah ini esensi kita belajar Ilmu Ekonomi? Apa tujuannya, apa pilihan yang
tersedia, given batasan-batasan yang
ada (tujuan-pilihan-batasan). Terlebih lagi, pilihan kebijakan itu ada
konsekuensinya pula (batasan juga?).
Bagaimana contoh kerangka yang saya
maksud? Di tulisan barunya yang berjudul Kemandekan Ekonomi, ditulis:
“Kita tak paham Tiongkok, padahal Tiongkok adalah pemain penting. Bank Dunia (2015) menunjukkan bahwa permintaan terbesar untuk metal dan energi-terutama batubara-berasal dari Tiongkok. Perlambatan ekonomi Tiongkok membawa dampak kepada harga energi yang rendah. Harga energi yang rendah akan mendorong nilai ekspor komoditas menurun. Implikasinya, ekspor Indonesia, pertumbuhan ekonomi, serta penerimaan pajak nonmigas dan migas terpukul secara signifikan. Dalam kondisi ini, ekspor terpukul, sementara ruang dari kebijakan fiskal untuk ekspansi menjadi amat terbatas. Di sinilah kesulitan kita. Di satu sisi, kondisi eksternal yang kita hadapi sulit; di sisi lain, ruang untuk ekspansi fiskal, apalagi ekspansi moneter, amat terbatas.”
Kemudian,
“Lalu apa yang bisa dilakukan? Kita tahu, saat ekonomi melambat, kita butuh kebijakan kontrasiklus. Pertanyaannya, dengan penerimaan pajak migas dan nonmigas yang terpukul tajam akibat pelambatan ekonomi dan penurunan harga komoditas, bagaimana ekspansi fiskal harus dilakukan? Saya teringat triple three (TTT) yang disebut Larry Summers tahun 2008. Ekspansi fiskal harus memenuhi TTT (targeted, temporary, timely).”
Meski tidak selalu setuju dengan
isi tulisannya (misal rekomendasinya), kerangka Ilmu Ekonomi (tujuan-pilihan-batasan)
seperti ini yang menurut saya lebih berguna. Ini mungkin sepele, tapi ini
penting. Hal lain yang penting menurut saya adalah opportunity cost.
Semoga semakin banyak analis dan
kolumnis yang menggunakan kerangka Ilmu Ekonomi meramaikan wacana kebijakan
ekonomi di Indonesia (tentu saja sama berharapnya saya agar semakin banyak
wacana Ilmu Ekonomi dari ekonom Indonesia di tataran teoretis melalui paper di
jurnal ekonomi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar