2011/08/28

Bolos Kuliah VS Tambahan Liburan

Jika disuruh memilih antara segera lekas pulang ke Semarang dengan mengorbankan waktu pasca lebaran untuk bersilaturahmi dengan saudara dan teman atau memilih membolos kuliah untuk beberapa hari dengan mengorbankan kenikmatan libur lebaran? Mana yang lebih masuk akal untuk dikorbankan? Analisis manfaat dan kerugian dalam hal ini menjadi sangat dibutuhkan, terutama bagi adik-adik kelas yang baru masuk di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip.

Dalam konteks pengorbanan, ada konsep menarik mengenai hal tersebut, yaitu opportunity cost. Konsep ini berkaitan dengan hilangnya peluang untuk melakukan suatu hal jika kita memilih hal lain sebagai alternatif. Tentu saja dalam hal ini, waktu kuliah adalah opportunity cost dari menikmati lebaran lebih lama di kampung halaman.
 
Sungguh sangat disayangkan apa yang terjadi dan terus terjadi di lingkungan kita, yaitu masalah sosialisasi informasi yang tidak benar-benar efektif. Salah satu yang membuat tidak terbantunya aktor dalam membuat suatu keputusan secara rasional. Tentu saja seorang pemilih dapat mempertimbangkan pilihan yang paling menguntungkan dan mengabaikan kerugian yang dideritanya, tetapi ada yang lebih berhati-hati dengan mempertimbangkan aspek kerugian dan bersedia meninggalkan manfaat dari pilihan. Meminjam istilah rasionalitas terbatas (bounded rationality) yang dikemukakan oleh Herbert Simon, rasionalitas dalam setiap pengambilan keputusan dapat dimulai apabila seseorang memiliki kesempatan untuk melakukan identifikasi sehingga memperoleh kecukupan informasi yang dibutuhkan untuk evaluasi terhadap sejumlah pilihan yang terbatas.
 
Memilih untuk membolos kuliah, dari pengalaman penulis, memiliki konsekuensi logis yaitu kehilangan waktu untuk bertatap muka dengan dosen untuk pertama kalinya. Perlu diketahui, saat-saat pertama kali dosen masuk kelas adalah momen paling tepat untuk mendengarkan berbagai cerita motivasi atau ‘kesombongan’ yang dapat memotivasi diri kita, selain itu pertemuan pertama adalah saat yang tepat untuk membangun kecintaan terhadap mata kuliah yang diampu oleh si dosen. Lebih jauh, pertemuan pertama dapat pula diisi dengan kontrak kuliah dan penjelasan mengenai literatur dan tips belajar yang baik.
 
Namun, pilihan ini juga mengandung masalah bagi mahasiswa perantau yang tinggal nun jauh dari kampus tercinta, yaitu kehilangan waktu bersilaturahmi dengan saudara keluarga dan teman tercinta. Apalagi jika waktu yang ditetapkan yaitu seminggu setelah lebaran harus masuk kuliah!
 
Bisa dibayangkan mahasiswa harus menetapkan pilihan di waktu yang sempit dan tekanan yang cukup untuk membuat keputusan yang kurang rasional, lebih lagi masalah tiket transportasi, kapal atau pesawat.
 
Sebagai mahasiswa yang pernah mengalami hal semacam ini, adik-adik mahasiswa yang lain perlu mempertimbangkan berbagai konsekuensi dan akibat dari pilihan tersebut. dan tentu saja harus menyedot berbagai informasi dari senior-senior agar tidak terjadi pilihan yang kalian buat menjadi tidak optimal.

The Role of Family

Family as a smallest part of socio-community institution, is a determinant of developing nations. The institutional reinforcement should involved the family. As well as policies which have a significant role in development, have to cover the role of family too.

In society, family have significant role, cultural, educational, and structural. Individual people who take a part in citizen, shaping in the family, before he join to the educational institution. So, family have a strategic role to shape the individual character. Further, the role of family in economy show that business corporation, some of Indonesia businessmen, came from the family of business, i.e Haji Kalla, Aburizal Bakrie, etc. The family have a significant role in the economy.
 
Policy makers haven’t to think this out of the theory. Based on socio cultural condition in Indonesia, have a unique role not only like a individual assumption in other place. Once again, family have strategic role in development.

2011/08/27

Development of City and Village

One of the problem on the development in Indonesia is urbanization. Urbanization can be defined as mobilization of the people who leave their village and going to city. Many people thought that can be better in the city. But, the city isn’t friendly for them and some of them should be worker of informal sector which cannot give the better of life. The labor force working in the formal sector only 35%, whereas in the informal sector reached 65%. Further, in the pressure of economy, such as completely irregular, suffered ecological damage, deepening housing problems and hygiene, increasingly intensive crime as the impact of centralized economics activity on the city.

How about decentralization concept? Have this point encouraged the economics activities on the village which motivated the people to develop their village? In my opinion, the government and their partner have to encourage the development in city and village. The City have to be a market for the goods, and being a four dynamics place for administration of government, private offices, educational/ cultural, and economic activities in the service sector (Erani, 2011). And the village have to be a supplier goods for the city, not only being a supplier of workers that increasing the number of unemployment in city. The city and village can be linked as a producer place and markets. So, we have to do this job to return the function of each place.

2011/08/13

Memahami Diskriminasi



Pernahkah kita bertanya-tanya, mengapa pelayanan di berbagai sarana transportasi umum kelas ekonomi begitu mengenaskan? Ambil contoh di kereta api ekonomi. Beberapa kali penulis menjajal alat angkutan tersebut hampir bisa dipastikan ada saja penumpang yang tidak kebagian tempat duduk hingga tidur di lantai, berdiri atau bahkan duduk di toilet.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah memang sebegitu buruknya pelayanan transportasi di negeri kita? Tidak beda jauh dengan kereta api, kapal laut yang digunakan sebagai alat transportasi antar pulau juga mengalami nasib serupa. Dari kamar mandi yang secara subyektif bisa dikatakan tidak layak hingga menu makanan yang penulis anggap kurang enak.
Prinsip Harga
Analisis secara mikro dibutuhkan untuk melihat mengapa hal tersebut bisa terjadi. Salah satu teori yang mendekati adalah bagaimana produsen mendiskriminasikan kemampuan konsumen. Asumsi ini dekat dengan teori price discrimination dalam price theory. Produsen dalam hal ini adalah penyedia angkutan umum, secara sengaja dengan tidak baik konsumen dengan kesesuaian harga.

2011/08/03

Dynamics of Deficit Budget

In the Macro Economics and Fiscal Policy Framework 2012 which reported by Ministry of Finance, estimated that the budget deficit is about 1,8 % on GDP or Rp 124,7 bilion at 2011. Budget deficit is a fiscal policy indicator that used by government. Fiscal expansionary is used to stimulate the economy by the budgeting procces.
 
Keynesian’s opinion, that fiscal policy is one of effective policy to increase the national income and encourage the economy activities. On the other hand, Monetarist says that fiscal isn’t effective policy if the policy doesn’t affect the money supply. This opinion is based on the crowding-out effect on investment.

Generally, there are three sources can be used to deficit budget. Foreign debt, central bank, and financial domestic sector. If the government uses the money from central bank (Seignorage, increasing in number of money supply), it can be dangerous and affect the inflation that monetary phenomenon. And if using the funds from domestic sector, it also can affect the hard-liquidity. Moreover, budget realization is still low, about 28%. At least, foreign sector can be used, debt or non-debt. But, many things should be consideration about this decision, especially about national-interest.

2011/06/30

Mencari Makna Preferensi

Oleh: Sandy Juli Maulana

Dalam teori ekonomi dibahas bahwa secara umum permintaan setidaknya ditentukan oleh empat faktor utama, yaitu: (1) harga barang tersebut; (2) harga barang lain (baik subtitusi atau komplementer); (3) pendapatan; dan (4) preferensi. Tiga faktor yang disebutkan di awal adalah faktor yang bersifat kuantitatif karena bisa dihitung atau dibandingkan, namun faktor terakhir adalah faktor yang berhubungan dengan kondisi masing-masing individu yang sangat subyektif. Preferensi juga dipengaruhi oleh banyak sekali hal lain, seperti landasan filosofis, politik, sosial, masyarakat, kultur, karakter, dan banyak hal lainya. Satu hal yang pasti bahwa ini merupakan faktor kunci dari suatu permintaan.

Mengapa preferensi adalah kunci dari permintaan? Bukankah permintaan itu berhubungan antara kuantitas dengan harga? Dimana sintesisnya? Salah satu cara menganalisis preferensi adalah dengan melihat kondisi nyata di sekitar kita. Misalnya ketika seorang direktur bank memiliki gaji sebanyak Rp 30 juta per bulan, apakah bisa dipastikan ia akan membeli sebuah sepeda motor dengan harga Rp 10 juta yang nota –bene dibawah daya belinya? Tanpa melihat preferensi tentu saja kita bisa mengasumsikan bahwa motor tadi merupakan permintaan dari si direktur, tetapi benarkah hanya harga dan pendapatan yang menentukan pilihannya?

Kata kuncinya adalah pilihan. Tentu si direktur akan memilih alat transportasi yang menjadi selera dari dirinya, dan tentu saja sesuai dengan kebutuhannya. Disini akan terjadi titik temu antara kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan mensyaratkan kita untuk memilih apa saja yang dibutuhkan dan seadanya sehingga terpenuhilah apa yang kita butuhkan. Sedangkan keinginan berkaitan dengan kepuasan diri yang tidak terbatas, karena keinginan kita selalu bertambah ketika keinginan itu sendiri terpenuhi. Pada akhirnya kebutuhan dan keinginan akan bertemu di suatu titik yang menghubungkan antara kemauan dan kemampuan kita dalam memilih.

Tetapi ada hubungan timbal balik antara kemauan dan kemampuan dalam diri kita. Salah satu contoh nyata adalah keputusan konsumen yang dipengaruhi oleh diskon yang diberikan suatu toko pada barang-barang tertentu yang pada awalnya tidak ingin dikonsumsi oleh konsumen. Tetapi ketika konsumen melihat adanya diskon dan harga yang ditawarkan menarik, maka konsumen akan merubah preferensinya akibat dari tarik menarik antara harga dan daya belinya. Sehingga terciptalah keputusan untuk mengkonsumsi yang tidak direncanakan.

Salah satu contoh nyata lainnya adalah dalam sebuah kisah cinta seseorang pemuda. Suatu hari pemuda ini menyatakan cintanya pada seorang gadis yang begitu dicintainya. Si gadis ini sebenarnya tidak memiliki sedikit pun rasa cinta pada pemuda tersebut, tetapi ketika si pemuda menyatakan cintanya dan si gadis melihat adanya ketulusan dari sikap dan perilaku yang ditunjukan oleh pemuda tadi, bukan tidak mungkin si gadis menerima cinta yang ditawarkan dengan pertimbangan tertentu. Salah satunya adalah “kenapa tidak aku coba saja menerima cinta si pemuda ini? Aku lihat ia telah menyerahkan segenap dirinya pada diriku untuk mencintaiku” (artinya pemuda rela melakukan apa saja demi diterimanya cinta pada sang gadis, walaupun itu harus menurunkan harga dirinya, diskon harga diri?). Si gadis mungkin akan berubah pikiran dan pada akhirnya menemukan kecocokan dalam waktu berjalan. Jadi, benarkah preferensi adalah segalanya?

2011/06/19

Diantara Sisa Waktu Pemerintahan SBY

Oleh: Sandy Juli Maulana
Setelah melalui dua kali periode pemerintahan yang dipimpin oleh SBY, telah banyak program pembangunan yang ditelurkan oleh dinasti “Indonesia Bersatu” baik episode satu dan dua. Diantara proyek tersebut adalah revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan (2005), program peningkatan iklim investasi (2006), program kawasan ekonomi khusus (2009), dan jelas yang paling hingar bingar adalah program koridor ekonomi pada 2011 (Kompas, 20 Juni 2011).
Namun, hasil dari program tersebut patut dipertanyakan. Apakah sebenarnya yang ingin dicapai oleh pemerintah? Apabila hal tersebut telah jelas dan tegas, selanjutnya adalah bagaimana mengeksekusi program tersebut di lapangan. Memang, pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2011 diperkirakan dapat mencapai 6,4% (Detikfinance.com). Hal ini ditopang oleh masih kuatnya permintaan domestik dan membaiknya sisi eksternal. Kinerja ekspor juga masih cukup tinggi sejalan dengan pemulihan ekonomi global. Tetapi semua hal tersebut semestinya bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. SBY dalam suatu kesempatan juga telah mengatakan bahwa trickle effect down yang selama ini dipercaya ternyata tidak dapat mampu bekerja dengan baik. Mengapa?
Secara teori, peran pemerintah dalam menelurkan kebijakan ekonomi dibutuhkan sebagai rangsangan agar perekonomian mampu kembali bergejolak jika mengalami kelesuan. Namun, jika pemerintah terlalu banyak ikut campur tangan dalam perekonomian dikhawatirkan akan menimbulkan crowd-out. Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh dua kebijakan besar, yaitu fiskal dan moneter. Menjadi dilematis ketika pemerintah sangat ingin memajukan perekonomian dalam jangka pendek dan panjang, namun tidak mempertimbangkan bagaimana mengikutsertakan seluruh elemen bangsa dalam pembangunan itu sendiri.
Semestinya secara makro, seluruh kebijakan pemerintah mampu diarahkan pada penciptaan iklim yang baik baik untuk berinvestasi dan produksi. Pemerintah harus mampu menekankan perannya dalam menjaga kondisi perekonomian agar pasar mampu bekerja secara efisien. Apabila pasar dapat berjalan secara efisien, maka peran pemerintah disini kembali menjadi sangat vital, terutama dalam hal regulasi. Contohnya, banyak aturan daerah yang semestinya mampu meningkatkan pembangunan di regional tersebut ternyata menjadi batu sandungan bagi investor. Menurut sebagian kalangan pemerintah daerah cenderung ingin meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa melihat pertimbangan jangka panjang dari kebijakan tersebut. Dari hasil pengkajian yang telah dilakukan Kemendagri, terdapat 448 perda yang tidak bermasalah atau telah sesuai dan 152 perda bermasalah (Bataviase.co.id).
Dari sisa waktu yang hanya tinggal menunggu hitungan tahun ini, pemerintahan SBY-Boediono harus mampu membawa suatu terobosan pembangunan yang nantinya akan bisa diwariskan pada kabinet selanjutnya. Prioritas yang harus dilakukan adalah terkait dua hal. Pertama, masalah hukum dan politik yang harus kembali dipikirkan oleh pemerintah.
Kedua, masalah pembangunan dan ekonomi. Hal tersebut menjadi sangat kompleks dan terintegrasi satu dengan yang lainnya. Pada intinya adalah dalam jangka pendek meningkatkan pembangunan dan daya saing perekonomian agar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun dalam jangka panjang, pemerintah harus mampu membuat perekonomian mandiri dengan menciptakan kondisi perekonomian yang berlandaskan pada mekanisme pasar yang efisien. Karena dengan pasar yang bekerja secara efisien maka stabilitas kesejahteraan masyrakat akan bergerak sesuai dengan arah pembangunan tanpa ada timbulnya distorsi politik dalam pembangunan. Sehingga siapapun pemimpin atau kabinetnya maka masyarakat dan swasta telah mampu bekerja secara mandiri tanpa ada ketergantungan terhadap kinerja pemerintah.

2011/06/13

Pendidikan, SNMPTN, dan Pemerataan Pembangunan

Siapa pun setuju bahwa pendidikan memiliki peran penting dalam proses pembangunan suatu bangsa Pendidikan menjadi salah satu titik tolak jika suatu negara ingin berhasil dalam proses pembangunannya. Pendidikan diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang merupakan salah satu pilar dalam transformasi  kemajuan sosial masyarakat.
John C. Bock menyebutkan dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992), bahwa peran pendidikan adalah sebagai : (a) ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa; (b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan pendorong perubahan sosial; dan (c) untuk meratakan kesepakatan dan pendapatan. Ketiga peran tersebut  jika diidentifikasi, maka akan mengerucut pada proses pembangunan yang berkarakter dan berkualitas.
Tidak dapat dipungkiri bahwa posisi strategis pendidikan ini membuat pemerintah selalu menaruh perhatian cukup besar pada proses pengembangan pendidikan. Salah satu bukti dari hal tersebut adalah anggaran yang disediakan dalam APBN untuk pendidikan mencapai 20%. Tidak heran kenapa pemerintah di berbagai negara mencoba berinvestasi di bidang pendidikan secara masif, karena ada anggapan bahwa investasi di bidang pendidikan akan memberikan multiplier effect yang lebih besar dari sekedar investasi di bidang sumber daya yang lain. Pertanyaannya adalah, apakah dengan bagian 20% dari APBN tersebut sudah mampu membuat pendidikan di Indonesia mampu menghasilkan SDM berkualitas untuk pembangunan?

2011/06/06

Monopoli Partai Politik

Oleh : Sandy Juli Maulana
Beberapa waktu yang lalu kita mendengar adanya gonjang-ganjing masalah penyederhanaan jumlah partai politik di Indonesia. Beberapa pihak menganggap jumlah partai politik di Indonesia terlalu banyak dan tidak ideal untuk diterapkan pada sistem presidensil. Mengapa wacana ini muncul? Salah satu alasannya adalah dengan jumlah yang sedemikian banyak tersebut roda pemerintahan tidak dapat berjalan dengan baik. Pertanyaannya adalah, benarkah mengurangi jumlah partai adalah satu-satunya cara agar pemerintahan berjalan efektif?

Seperti kita ketahui, Indonesia telah melaksanakan tiga kali pemilihan umum sejak reformasi. Pemilu 1999 diikuti 48 partai, Pemilu 2004 sebanyak 24 partai politik, dan Pemilu 2009 tercatat sebanyak 38 partai politik. Semakin banyak partai yang ikut tentunya menjadikan pasar politik menjadi semakin beragam baik dari sisi ideologi dan figur. Selain itu, masyarakat menjadi bingung dalam memilih partai tersebut. Sehingga muncul pertanyaan bahwa apakah dengan jumlah partai sebanyak itu mampu mewakili suara masyarakat yang hidup dalam keragaman masing-masing wilayah. Tentu saja kajian sosiologi-politik sangat tepat untuk menganalisis hal ini.

Terlepas dari sisi sosiologisnya, kita bisa sedikit menelaah apa yang terjadi dalam pasar politik kita. Apakah tidak ada kecurigaan ini merupakan sebuah strategi politik partai berkuasa untuk menghalangi pesaing-pesaing politiknya? Teori ekonomi memandang bahwa akan selalu ada kecenderungan memonopoli oleh salah satu supplier dengan cara salah satunya menghalangi pesaing yang berkeinginan untuk masuk ke pasar. Upaya untuk menghalangi tersebut dapat berupa secara artifisial, strategi, ataupun dibuat seolah-olah natural. Dalam perspektif public choice, partai politik dipandang sebagai pihak yang menawarkan kebijakan politik dan masyarakat sebagai demander dengan alat tukar berupa suara. Sehingga terjadilah proses interaksi antara partai politik dengan masyarakat sebagai pemilih. Apabila kecenderungannya adalah monopoli, maka masyarakat akan dibuat seolah-olah tidak memiliki alternatif lain. Dengan kata lain, tidak ada subtitusi untuk barang yang sejenis. Sehingga pihak yang memonopoli mempunyai kecenderungan untuk menjadi penentu harga, dan tidak ada tawar menawar dengan masyarakat.

Tentu saja hal ini jika dikaitkan dalam perspektif struktur pasar politik, maka akan cenderung berpotensi pada kekuasaan yang korup dan tidak demokratis. Salah satu penyebabnya adalah pihak berkuasa bebas menentukan berapa dan kebijakan apa saja yang mereka inginkan dan mampu menghalangi pihak lain untuk ikut berpartisipasi dalam percaturan politik. Dengan demikian boleh jadi kita mengatakan usaha untuk mengurangi jumlah partai politik adalah sama dengan menghidupkan kembali sistem otoriter yang kurang demokratis.

Apa yang harus dilakukan? Dengan sistem multipartai.  presidensil, dan struktur masyarakat majemuk di Indonesia, mengharuskan manajemen perpolitikan sebaiknya diatur secara arif namun tanpa menghilangkan esensi dari demokrasi itu sendiri. Are we on the right track? Yes. Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bagaimana perspektif Pancasila yang tertuang dalam sila keempat harus diimplementasikan, jika kita masih menghargai Pancasila.


Sandy Juli Maulana
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro
Aktif di LPM Edents

2011/05/24

Penanaman Modal Asing: MEA dan Harapan

Diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015 cukup mengkhawatirkan beberapa kalangan. MEA nantinya akan memuat empat pilar yang mencakup beberapa hal, salah satu yang dikhawatirkan adalah liberalisasi arus modal.

Adapun cetak biru aliran bebas modal mencakup dua hal pokok, pertama, memperkuat pengembangan dan integrasi pasar modal ASEAN. Hal ini salah satunya memuat harmonisasi berbagai standar di pasar modal ASEAN, Khususnya mengenai ketentuan penawaran umum (initial public offering) untuk obligasi, ketentuan disclosure, dan distribution rules. Kedua, liberalisasi arus modal. Hal ini terdiri dari dua ketentuan utama, yaitu mengurangi hambatan atas transaksi neraca berjalan dan mengurangi hambatan aliran modal serta melakukan berbagai inisiatif memajukan pengembangan pasar modal ASEAN (Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, Bank Indonesia).

2011/05/22

Pembangunan Ekonomi vs Pendidikan

Sungguh merupakan sesuatu hal yang tidak beralasan untuk mengatakan bahwa pembangunan Indonesia telah mencapai tahap yang merata di seluruh wilayah Indonesia. Kesenjangan pembangunan di wilayah Indonesia sungguh-sungguh sangat memperihatinkan. Bukan hanya dari segi fisik, namun pembangunan jika dilihat dari keseluruhan baik input, proses dan outputnya.

Pemerintah dengan bangga menggunakan angka pertumbuhan ekonom
i yang bercokol di 6,5% (BPS) untuk menunjukan keberhasilannya dalam bekerja. Lalu, banyak pihak mencemooh data makro ekonomi yang digunakan pemerintah sebagai perisai untuk melawan kritik terhadap mereka. Mengapa data makro ekonomi tersebut terkadang sangat tidak relevan dengan apa yang terjadi di lapangan? Mungkin, salah satu ukuran keberhasilan pemerintah dalam membangun ekonomi adalah terpusat pada perhatian ekonomi semata, padahal banyak hal lain yang menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi diluar faktor-faktor ekonomi tersebut.

2011/05/17

Menengok Kembali Masyarakat Ekonomi ASEAN


Sejak ditandatanganinya perjanjian ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tahun 1992 hingga menguatnya wacana Masyarakat Tunggal ASEAN yang diwujudkan dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) untuk hal ekonomi. bahkan dua wacana yang cukup menarik perhatian publik adalah rencana pembentukan ASEAN Infrastructure Fund dan ASEAN Single Currency yang diangg...ap beberapa kalangan tidak realistis. Belajar dari Eropa yang sudah terlebih dahulu mencicipi Regionalisme--paham atau kecenderungan untuk mengadakan kerja sama yg erat antarnegara dalam satu kawasan-- yang kini boleh mengkalim dirinya sukses dalam mencanangkan mata uang tunggal, Euro. Uni Eropa membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menuju ke suatu integrasi secara menyeluruh untuk menyatukan dan mengharmonisasikan masyarakat tunggal tersebut.