2015/10/23

Artikel Pendidikan Ilmu Ekonomi di Indonesia

Bagaimana pendidikan Ilmu Ekonomi di Indonesia saat ini?

Akademisi UGM, Denny Puspa Purbasari menulis artikel menarik mengenai refleksi pendidikan Ilmu Ekonomi di Indonesia. Banyak hal menarik dari tulisan tersebut, tapi bagian yang paling menarik bagi saya adalah mengenai peran ganda ekonom di kampus, sebagai ilmuwan yang mengembangkan "ilmunya" dan, dalam istilah penulis di artikel tersebut, penasihat kebijakan atau pengambil kebijakan.

Tulisan tersebut sangat layak untuk dibaca baik yang sedang kuliah dan belajar Ilmu Ekonomi, yang sudah lulus program Ilmu Ekonomi, atau para dosen program Ilmu Ekonomi.

Tidak ada salahnya berharap kampus di Indonesia menghasilkan karya akademis Ilmu ekonomi yang berkualitas dan berkontribusi bagi perkembangan pemikiran Ilmu Ekonomi. Semoga.

2015/10/19

Kolumnis dan Kerangka Ekonomika


Saya senang ketika Chatib Basri (Akademisi UI, sekarang Senior Fellow Harvard Kennedy School) kembali menulis analisis ekonominya di media (setelah beberapa tahun menjadi pengambil kebijakan). Saya selalu mengikuti analisisnya di media sejak jaman kuliah semester awal dulu.  Mengapa saya menyukai tulisannya?

Pertama, karena gaya menulisnya keren. Kedua, menurut saya tulisan-tulisannya tajam dan memiliki perspektif menarik, namun tetap berlandaskan Ilmu Ekonomi. Kenapa saya gunakan ‘namun’ adalah karena saya merasa ‘jarang’ menemukan pengamat yang menulis di media yang menggunakan kerangka Ilmu Ekonomi. Bukan berarti tidak ada. Ada beberapa ekonom, tapi tidak banyak menurut saya. Tidak usah pusing dengan definisi 'banyak', Ya?

Dalam hal ini, tulisan yang ditulis Chatib Basri selalu mengajukan analisis masalah, kemudian mengajukan beberapa alternatif pilihan kebijakan dan mengajukan batasan-batasan apa saja. Bukankah ini esensi kita belajar Ilmu Ekonomi? Apa tujuannya, apa pilihan yang tersedia, given batasan-batasan yang ada (tujuan-pilihan-batasan). Terlebih lagi, pilihan kebijakan itu ada konsekuensinya pula (batasan juga?).

Bagaimana contoh kerangka yang saya maksud? Di tulisan barunya yang berjudul Kemandekan Ekonomi, ditulis:
 “Kita tak paham Tiongkok, padahal Tiongkok adalah pemain penting. Bank Dunia (2015) menunjukkan bahwa permintaan terbesar untuk metal dan energi-terutama batubara-berasal dari Tiongkok. Perlambatan ekonomi Tiongkok membawa dampak kepada harga energi yang rendah. Harga energi yang rendah akan mendorong nilai ekspor komoditas menurun. Implikasinya, ekspor Indonesia, pertumbuhan ekonomi, serta penerimaan pajak nonmigas dan migas terpukul secara signifikan. Dalam kondisi ini, ekspor terpukul, sementara ruang dari kebijakan fiskal untuk ekspansi menjadi amat terbatas. Di sinilah kesulitan kita. Di satu sisi, kondisi eksternal yang kita hadapi sulit; di sisi lain, ruang untuk ekspansi fiskal, apalagi ekspansi moneter, amat terbatas.”
 Kemudian,
 “Lalu apa yang bisa dilakukan? Kita tahu, saat ekonomi melambat, kita butuh kebijakan kontrasiklus. Pertanyaannya, dengan penerimaan pajak migas dan nonmigas yang terpukul tajam akibat pelambatan ekonomi dan penurunan harga komoditas, bagaimana ekspansi fiskal harus dilakukan? Saya teringat triple three (TTT) yang disebut Larry Summers tahun 2008. Ekspansi fiskal harus memenuhi TTT (targeted, temporary, timely).”
Meski tidak selalu setuju dengan isi tulisannya (misal rekomendasinya), kerangka Ilmu Ekonomi (tujuan-pilihan-batasan) seperti ini yang menurut saya lebih berguna. Ini mungkin sepele, tapi ini penting. Hal lain yang penting menurut saya adalah opportunity cost.

Semoga semakin banyak analis dan kolumnis yang menggunakan kerangka Ilmu Ekonomi meramaikan wacana kebijakan ekonomi di Indonesia (tentu saja sama berharapnya saya agar semakin banyak wacana Ilmu Ekonomi dari ekonom Indonesia di tataran teoretis melalui paper di jurnal ekonomi).

Silahkan baca tulisan lengkap Chatib Basri tersebut disini atau disini.

Opportunity Cost?

Bagi pengguna aplikasi Gojek pasti tahu kalau kita memberikan kode referral ke teman kita yang belum pernah menggunakan Gojek, maka kita dan teman itu sama-sama akan mendapatkan kredit sebesar Rp50.000. Tentu saja kita akan mendapatkannya ketika teman kita itu memesan Gojek untuk pertama kali. Kredit itu bisa pakai sebagai pengganti cash. Simpelnya kita dikasih oleh Gojek ‘duit elektronik’ sebesar Rp50.000 secara cuma-cuma yang hanya bisa dipakai untuk aplikasi Gojek. Tulisan ini bukan tentang aplikasi itu. Bukan.

Anggap kita punya kredit dari referral, dan kita dengan mudah dapat Rp50.000. Kalau kita menggunakan fitur Gofood dan membayarnya dengan kredit dari referral itu untuk memesan makanan di Gojek yang biaya delivery-nya sekitar Rp10.000, dan memilih makanannya adalah Burger seharga Rp25.000 (bersih sudah dengan pajak).

Jadi, uang yang benar kita keluarkan apakah Rp25.000 saja atau Rp35.000? Bukankah Rp10.000 itu kita dapat dengan cuma-cuma dari membagikan kode yang sekarang sisa Rp40.000? Bukankah kita tidak mengeluarkan uang cash untuk biaya Rp10.000 tersebut? Rp10.000 itu kan yang kita dapat secara cuma-cuma dari Gojek sebagai bagian dari Rp50.000 diatas dan dikembalikan lagi, bukan? Jadi itu artinya biaya memesan makanan Cuma Rp25.000 saja? 

Oh ya, kamu sudah belajar Ilmu Ekonomi dan membaca buku Economics Samuelson itu, jadi sudah pasti paham maksud dan kaitannya dengan judul tulisan ini.

Saya jadi ingat beberapa tahun yang lalu ketika ada yang bergulat dengan pertanyaan bahwa subsidi bukan uang keluar.

2015/10/11

Nash dan Ilmu Ekonomi

Esok hari (Senin, 12 Oktober 2015) Hadiah Nobel untuk Ilmu Ekonomi akan diumumkan pemenangnya. Kali ini saya akan menulis mengenai cerita dari seorang Nobel Laureate mengenai Nobel Laureate yang lain.

Beberapa waktu lalu saya mengunduh aplikasi Bookmate dan iseng-iseng mencari buku A Beautiful Mind karya Sylvia Nasar yang bercerita tentang seorang matematikawan besar pemenang Nobel Ekonomi tahun 1994, John Nash (saya sudah pernah membaca terjemahannya ketika kuliah dulu). Saya putuskan untuk membaca bagian awalnya saja di aplikasi tersebut.

Minggu lalu, saat waktu luang di kantor saya iseng membaca list publikasi Robert B. Myerson (pemenang Nobel Ekonomi 2007) dan menemukan salah satu artikelnya mengenai kontribusi John Nash dalam Ilmu Ekonomi (judul aslinya Nash Equilibrium and the History of Economic Theory). Setelah membacanya banyak hal menarik yang mungkin beberapa mahasiswa ekonomika perlu ketahui mengenai Nash dan sejarah perkembangan Ekonomika, tidak hanya sebatas Nash Equilibrium saja.

Nash, seorang yang belajar matematika, menulis disertasi yang hanya 23 halaman dan 3 referensi yang di kemudian hari akan berpengaruh besar dalam ilmu ekonomi. Myerson menyebut bahwa pemikiran Nash mengenai noncooperative games adalah salah satu kemajuan yang sangat besar dalam ilmu pengetahuan abad 20. Beberapa poin yang menarik bagi saya dalam artikel tersebut adalah bahwa Myerson menganggap Nash mengubah bagaimana Ekonomika bekerja yang sebelumnya didominasi oleh Price Theory (ekonomi mikro).

Untuk memahami bagaimana kontribusi Nash dalam ekonomika, Myerson membawa kita untuk mengenali Ekonomika sebelum masa Nash mulai dari Adam Smith. Ekonomika pada masa sebelum Nash dominan mempelajari bagaimana arus uang dan barang serta dinamikanya, meski istilah ekonomi pada awalnya digunakan oleh para filsuf Yunani untuk mempelajari institusi yang lebih luas. Myerson menganggap bahwa hal ini jelas karena arus uang dan barang adalah yang paling quantifiable sehingga logis jika dikembangkan sebuah cabang filosofi moral yang analitis dengan perangkat matematikanya yang fokus pada perihal aliran uang dan barang. Kemudian, Ekonomika memasuki babak baru lagi ketika revolusi marjinalis (mahasiswa ekonomika harusnya familiar dengan pemikiran Alfred Marshal dkk ini) mengembangkan secara analitis penawaran dan permintaan dengan kerangka rational-competitive decision making. Ekonom kemudian ‘berekspansi’ untuk mempelajari banyak hal dengan kerangka rasional tersebut. Namun, hal ini memerlukan kerangka yang lebih umum. Disinilah game theory berkembang.

Pada dasarnya benih awal Game Theory sudah dikembangkan sejak lama dalam social science sejak Machiavelli dan Hobbes. Namun, secara matematik Cournot dianggap pengembang pertamanya (mahasiswa ekonomi akan familiar dengan konsep oligopoli Cournot dimana perusahaan bersaing dengan menentukan tingkat output optimalnya dengan mempertimbangkan produksi perusahaan lain). Hasil analisis ini dianggap beberapa pihak mirip dengan Nash Equilibrium, sehingga Nash Equilibrium mesti disebut Cournot-Nash Equilibrium. Myerson tidak setuju mengenai hal ini, karena apa yang dikembangkan Cournot spesifik pada masalah oligopoli saja, berbeda dengan Nash yang mengembangkan secara umum. Model Cournot bukan merupakan model umum untuk mempelajari noncooperative games. Kemudian, dilanjutkan pengembangannya oleh Borel (ini saya juga baru dengan namanya). Lalu muncul satu nama yang terdengar tidak asing,  von Neumann dan Morgensten.

Myerson mengatakan bahwa Nash telah membawa Ekonomika ke tingkat yang lebih tinggi, dengan memperluas landasan ontologis ekonomika dan mengembangkan landasan epistemologisnya. Seperti yang telah disinggung dan dipelajari mahasiswa ekonomika, sebelum Nash Ekonomika fokus pada pengembangan mengenai ilmu aliran uang dan barang. Objek ilmu ekonomi tersebut dipelajari dengan menggunakan aljabar linear dan kalkulus (Matematika). Kontribusi Nash dan para pendahulunya menurut Myerson adalah menjadikan Ekonomika mengalami redefinisi apa yang ia pelajari. Ekonomika tidak lagi hanya mempelajari aliran uang dan barang, namun kini mempelajari bagaimana bagaimana masalah sosial yang lebih umum, dalam kerangka noncooperative games, kompetisi, dan kerja sama.  Myerson menyebutnya sebagai “the study of  rational competitive behavior in any institution of society”. Kini, sebagai mahasiswa ekonomika kita bisa menjelaskan banyak hal dengan menerapkan konsep ekonomi, termasuk kenapa ada jomblo dan apakah optimal keputusan saya untuk mengirim teks duluan atau tidak, dan hasilnya terhadap proses PDKT (bukan curhat). Jadi, mahasiswa ekonomika tidak lagi urusannya tentang uang (siapa juga yang bilang gini, eh). Oh ya, saya tidak tahu bagaimana Myerson menganggap kontribusi Gary S. Becker yang juga banyak mengaplikasikan konsep ekonomi ke masalah sosial lain. Nash, tentu dengan para pendahulunya, membawa landasan ontologis yang lebih luas dalam ekonomika.

Secara metode, Nash dan pendahulunya juga membawa kita pada metode berbeda dalam memperlakukan analisis ekonomi. Bahkan, pengembangan analisis keseimbangan umum oleh Debreu dan Arrow pada era selanjutnya dianggap terinspirasi dari pengembangan noncooperative games pula (jangan lupa Nash Equilibrium dan General Equilibrium, secara matematis keduanya dibuktikan dengan Fixed point theorem!). Sekali lagi, Nash menjadikan ekonomika menjadi lebih sulit karena harus belajar real analysis dan topology membawa Ekonomika ke tahap metodologi lebih maju. 

Jika di disiplin Fisika pada ahlinya sibuk mencari mengenai unifikasi teori, maka Myerson menyebut pemikiran Nash dan pendahulunya mengenai noncooperative games merupakan unifikasi dalam social science.

Oh ya, di makalah ini terdapat pula bagaimana Myerson menganggap mengapa asumsi individu rasional itu penting (buat bahan twitwar teman-teman). Silahkan, ini link papernya. Setelah membaca lagi, saya baru tahu ternyata itu dipublish di Journal of Economic Literature.