2014/01/22

Apakah Impor Pangan adalah Hal yang Baik? Sebuah Cerita Anak Kos dan Musim Hujan

Beberapa minggu terakhir, di Semarang hampir setiap hari hujan. Kadang hujan deras kadang tidak. Tapi, setiap hari hujan. Sebagai mahasiswa yang sudah tidak ada aktivitas perkuliahan di kampus, saya senang saja. Toh, saya bisa fokus mengerjakan tugas akhir di kamar. Namun ada masalah lain.

Biasanya kalau hujan sejak saya bangun pagi, akan bertahan sampai siang. Kadang-kadang sampai sore dan malam. Ya, walaupun tidak selalu deras dan masih bisa ditembus.

Masalahnya muncul karena saya tidak memiliki kompor dan persediaan makanan. Jadi, ketika hujan saya terpaksa harus pergi ke warung makan hujan-hujanan hanya untuk sebuah nasi bungkus. Maka, biaya yang saya keluarkan untuk membeli sebungkus nasi menjadi lebih tinggi daripada di hari cerah. Hal ini belum lagi memperhitungkan resiko sakit karena kehujanan dan masuk angin.

Masalah Impor Pangan

Masalah di atas merupakan ilustrasi bagaimana bahayanya jika suatu negara terus-terusan mengimpor bahan pangan. Jika saya adalah penduduk negara kos-kosan, dan warung makan adalah negara lain, maka sejatinya kami berdua sedang melakukan perdagangan (internasional).

Apa yang terjadi jika saya tidak memiliki kompor dan tidak memiliki persediaan bahan makanan misalnya mie instant di rumah? Seperti halnya negara, ketika terjadi hal-hal yang tidak bisa kita kontrol, misalnya cuaca, perang, dan lain hal, maka stok dan kompor tadi berguna untuk menyediakan agar kita tetap makan. Sebuah negara juga demikian, ia harus memiliki pabrik, lahan, petani yang berproduksi dalam hal pangan.

Dalam ilmu mikroekonomi, kita mengenal penyesuaian yang membutuhkan waktu. Seperti itu pula dalam kasus anak kos-kosan tadi, apakah mungkin mengubah fungsi laptop menjadi kompor? Ada waktu penyesuaian, perlu menjual laptopnya dulu, baru beli kompor.

Walaupun ada teori yang mengatakan bahwa dengan berdagang kita menjadi sejahtera, kadang-kadang teori itu perlu kita pikirkan sampai sedalam-dalamnya dan kita uji kebenarannya.

Apakah saya tetap bisa membeli makan di warung sewaktu hujan? Iya, tetap bisa, tapi bisa jadi tidak efisien. Biaya yang saya keluarkan harus lebih banyak.

Terakhir, tulisan ini tidak bermaksud mengajak mahasiwa kos-kosan untuk memasak sendiri, karena bisa jadi juga tidak efisien (ingat bab Gain from trade). Akan tetapi, hanya merenungkan masalah serius karena saya kelaparan, eh maaf, maksudnya merenungkan bahwa punya kompor dan persediaan makanan di rumah penting juga.


Catatan:
1. Setelah hampir selesai menulis postingan ini, saya jadi teringat sidang WTO beberapa waktu kemarin dan bagaimana India memperjuangkan keinginannnya untuk menyetok bahan pangan.
2. Walaupun kompor dan stok diperlukan, jangan lupa aspek opportunity cost dari hal itu ketika tidak dipakai. Ya, mie instant mungkin bisa diperbaharui beberapa bulan sekali. Kalau masalah kompor ya mungkin bisa dipakai untuk hiasan, atau mungkin meja laptop.
3. Tulisan ini dibuat ketika hujan deras dan saya belum sarapan.

2014/01/16

Teori Ekonomi dan Game Theory Sholat Jumat

Saya bingung ingin memberi judulnya apa, yasudahlah saya beri saja judul "Teori Ekonomi dan Game Theory Sholat Jumat" biar kelihatan keren, gitu. Perhatian, tulisan ini tidak akan membahas kenapa saya mau sholat jumat, tapi membahas bagaimana kita (saya saja deh) memilih tempat duduk dan keputusan pergi ke masjid.

Hari jumat, kondisi hujan. Saya segera mandi dan bersiap-siap ke masjid untuk sholat jumat. Saat berjalan ke masjid, saya terpikir mengenai insentif dalam ilmu ekonomi dan teringat kasus kalau kita para lelaki datang ke masjid untuk sholat jumat.

Ketika masuk masjid dan memilih tempat duduk, maka anggaplah pilihan tempat duduk kita itu acak. Kita bisa duduk di mana saja saat mendengarkan khutbah jumat.

Pertanyaannya bisakah kita memodelkan pilihan tempat duduk tersebut? Sebelum membahas model, ada baiknya meninjau masalah tersebut dari sudut pandang ilmu ekonomi.

Insentif dan Norma

Secara sederhana, saya mengartikan ilmu ekonomi adalah mengenai pilihan-pilihan dan insentif. Saya kira, kasus memilih tempat duduk waktu mendengarkan khutbah ini adalah contoh yang baik untuk menjelaskan ilmu ekonomi dan hubungannya dengan ilmu sosial lain.

Pertanyaan: mengapa beberapa orang (sebagian besar malah, hmm, atau mungkin saya saja?) memilih duduk tidak pada di barisan yang di depan dan masih kosong? Sampai kita sering mendengar pada acara-acara lain mengenai permintaan untuk mengisi kursi atau tempat yang kosong di depan terlebih dahulu.

Ekonom dan mahasiswa ekonomika akan menjawab orang-orang tidak memilih tempat duduk di depan karena tidak ada insentifnya. Kenapa harus duduk di depan, toh duduk di belakang juga sama saja. Kecuali, duduk di barisan paling depan ada insentifnya, misalnya dijanjikan akan mendapatkan sesuatu, misalnya pahala yang lebih besar daripada yang duduk di barisan belakangnya.

Sampai pada titik ini, mahasiswa ekonomika akan memodelkan perilaku duduk jamaah dengan mekanisme insentif. Orang yang tahu bahwa duduk di depan pahalanya lebih besar, maka akan memilih duduk di depan. Ketika insentif jelas dan diketahui, maka masalah masyarakat terpecahkan oleh perilaku setiap individu, yaitu pilihan. Hal inilah yang dibahas dalam ilmu ekonomi.

Sekarang bayangkan ketika orang tahu atau tidak tahu ada pahala untuk duduk di baris yang lebih dekat dengan imam. Namun, misalkan, ada semacam norma yang mengatur bahwa yang sholat di baris paling depan adalah orang-orang tertentu saja, misal orang yang dianggap tua dan paling alim. Nah, disini norma-norma membentuk struktur sosial yang bekerja 'berlawanan' dengan mekanisme insentif dan pilihan individu. Pilihan individu jadi terbatasi (ini bisa menjadi klaim masalah sosiologi dalam masyarakat, bisa jadi tetap masalah ilmu ekonomi mengenai 'batasan').

Apa konsekuensi adanya hal-hal semacam norma ini bagi outcome? Norma ini mendistorsi hasil agregat pilihan individu dengan insentif. Ketika ada tempat yang kosong waktu di depan (karena adanya norma semacam itu), mungkin akan ada orang yang tidak mendapat tempat duduk di dalam masjid. Padahal ada tempat kosong di depan. Ini bisa dianggap sebagai, dalam bahasa ilmu ekonomi, inefisiensi. 

El Farol Bar Problem

Selain hal-hal di atas, ketika saya sampai di masjid saya menemukan masjid tidak penuh sebagaimana jumat-jumat lain. Biasanya saya menemukan masjid akan penuh dan saya terpaksa sholat di luar (ketahuan suka menunda berangkat hingga qamat). Tapi, hari itu masjid tidak seperti biasanya, karena tidak banyak yang berangkat. Bagaimana memodelkan fenomena kedua ini?

Begini.

Ketika selesai mandi, saya melihat keluar jendela cuaca lagi hujan dan saya berpikir untuk tidak berangkat ke masjid, sholat di rumah saja lah (padahal sholat jumat dan jarak rumah ke masjid cuma 200 meter). Karena hujan dan sudah agak telat, saya berpikir bahwa kalau berangkat pun saya akan tidak akan mendapatkan tempat di dalam (seperti jumat-jumat yang lalu). Konsekuensinya, saya akan sholat di halaman masjid di bawah rintikan air hujan. Maka atas dasar perhitungan rasional tersebut, saya seharusnya tidak berangkat.

Tapi, saya tetap berangkat ke masjid. Sesampainya di masjid, saya menemukan masjid tidak seramai biasanya. Saya heran. Hal tersebut membuat saya berpikir, apa yang terjadi. Maka saya berhipotesis bahwa, karena semua orang berpikir atas dasar perhitungan rasional seperti yang saya lakukan pada paragraf sebelumnya, maka masjid akan tidak seramai semestinya. Semua orang berpikir mereka akan lebih baik jika tidak pergi karena jika pergi dan masjid ramai, mereka ada kemungkinan tidak mendapatkan tempat di dalam masjid, dan duduk di luar sementara sedang hujan.

Saya pun duduk mendengarkan khutbah, dan berpikir, kasus ini mirip dengan El Farol Bar Problem, yang dikembangkan oleh W. Brian Arthur. Sederhananya, el farol bar problem menjelaskan bahwa seseorang akan mendapatkan utilitas yang lebih tinggi jika pergi ke tempat, misalnya cafe X jika orang-orang yang memilih pergi ke cafe tersebut kurang dari jumlah tertentu. Jika orang yang pergi ke cafe X tersebut melebihi jumlah tertentu, maka utilitas yang diperoleh akan lebih besar jika si dia tidak pergi ke cafe X dan tetap tinggal di rumah.

El Farol bar problem ini yang kemudian dikembangkan menjadi minority games. Kemudian ada pula konsep yang berkaitan, yaitu inductive reasoning. Saya mengetahui el farol problem dan minority games ini dari membaca working paper salah satu peneliti di Bandung FE Institute mengenai intervensi bank sentral terhadap kurs, rejim kurs, dan perilaku agen-agen ekonomi  di pasar valas.

Nah, begitulah hasil merenung khutbah di waktu khutbah jumat minggu ini. Saya akui, sholat saya tidak khusyuk.

2014/01/13

Data APBD 1994-2013

Mahasiswa fakultas ekonomika biasanya berkepentingan dengan data-data, termasuk data APBD. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) menyediakan akses online data APBD seluruh Indonesia dari tahun 1994-2013. Data tersebut bisa diakses disini.
Kabar baiknya, data tersebut berekstensi .xls, sehingga anda bisa dengan mudah mengolahnya menggunakan excel anda.

Ekuilibrium dalam Ekonometrika

Pertama, postingan ini tidak bermaksud menjelaskan nama blog ini (walaupun ada hubungannya sedikit).

Kedua, tulisan ini juga tidak bermaksud menjelaskan panjang lebar mengenai ekuilibrium dan kointegrasi. Tulisan ini hanya menampilkan kutipan dari sebuah buku ekonometrika.

Ketiga, postingan ini sama dengan postingan sebelumnya, terinspirasi oleh bagian awal dari sebuah buku ekonometrika.


Ketika kita belajar analisis time-series di ekonometrika, kita akan bertemu dengan sebuah konsep yang disebut Kointegrasi, cointegration, atau co-integration. Konsep tersebut membicarakan mengenai equilibrium pada konsep time-series. (Saya pernah membaca penjelasan kointegrasi dari sebuah blog keren ini).

Mungkin kita (mahasiswa ekonomika) akan bertanya-tanya, apakah konsep ekuilibrium yang dibicarakan dalam kointegrasi sama dengan ekuilibrium dalam pasar yang sudah kita pelajari di semester 1 kuliah fakultas ekonomika. Apakah sama atau ada hal lain yang perlu dielaborasi?

Nah, kebetulan saya menemukan penjelasan menarik di sebuah buku ekonometrika berjudul "Co-Integration, Error-Correction, and The Econometric Analysis of Non-Stationary Data" karangan Baneerje, dkk. Di bagian Introduction buku tersebut, penulis mengelaborasi bagaimana konsep ekuilibrium dalam econometrics. Supaya tidak ada kesalahpahaman, saya tampilkan saja kutipan langsung dari bukunya.

Buku tersebut awalnya membahas konsep ekuilibrium secara umum, yakni:
"An equilibrium state is defined as one in which there is no inherent tendency to change,... The phrase 'long-run equilibrium' is also used to denote the equilibrium relationship to which a system converge over time,... a long run equilibrium relationship entails a systematic co-movement among economic variables which an economic system exemplifies precisely in the long run" (Banerjee, et al, 1993)
Kemudian, terkait pertanyaan apakah ekuilibrium dalam ekonometrika dan teori ekonomi adalah hal yang sama
"Our definition of equilibrium is therefore not that in which 'equilibrium; refers to clearing in a particular market and where 'disequilibrium' means that supply is not equal to demand,....There is of course a connection between the meaning of 'equilibrium' used in econometrics by Quandt and others, and that used here, which is more common in time-series analysis." (Banerjee, et al, 1993)
Dan, apa itu ekuilibrium dalam ekonometrika dijelaskan secara jelas oleh kalimat berikut,


Begitulah. Mengenai penjelasannya  lebih jauh mengenai hal tersebut, silahkan baca bukunya yang bisa dilihat di referensi.

Referensi

Anindya Banerjee, Juan J. Dolado, John W. Galbraith, and David Hendry. 1992. Co-integration, Error Correction, and the Econometric Analysis of Non-Stationary Data. Oxford University Press.

Ekonometrika menurut Econometrica

Sebagai mahasiswa ekonomika (atau fakultas ekonomika secara umum), kamu harus bertanya-tanya ketika belajar statistika dan ekonometrika. Apa beda keduanya?
_____

Beberapa waktu yang lalu ketika sedang di perpustakaan, saya iseng-iseng membuka buku Econometrics Analysis karangan William Greene (konon buku ini salah satu buku yang susah dibaca karena ia menjelaskan ekonometrika dengan pendekatan matriks, aljabar linear). Saya biasanya paling suka membuka bagian awal buku (introductory, preface, dsb), karena biasanya disitu terdapat hal-hal menarik (dan juga karena bagian selanjutnya, yaitu intinya, susah dipahami).

Nah, di paragraf pertama Introduction buku tersebut, penulis mengutip kalimat dari Econometrica terbitan pertama (jurnal ekonometrika yang dikeluarkan oleh Econometrics Society). Kalimat tersebut menarik (bagi saya), karena memberikan pandangan yang boleh dibilang biasa namun keren.

"its main object shall be to promote studies that aim at a unification of the theoretical-quantitative and the empirical-quantitative approach to economic problems and that are penetrated by constructive and rigorous thinking similar  to that which has come to dominate the natural sciences."

Kemudian,

"But there are several aspects of the quantitative approach to economics, and no single one of these aspects taken by itself, should be confounded with econometrics. Thus, econometrics is by no means the same as economic statistics. Nor is it identical with what we call general economic theory, although a considerable portion of this theory has a definitely quantitative character. Nor should econometrics be taken as synonomous [sic] with the application of mathematics to economics. Experience has shown that each of these three viewpoints, that of statistics, economic theory, and mathematics, is a necessary, but not by it self a sufficient, condition for a real understanding of the quantitative relations in modern economic life. It is theunificationof all three that is powerful. And it is this unification that constitutes econometrics." (Greene, 2003)

Jadi, menurut kutipan tersebut, ekonometrika bertujuan menyatukan atau mempertemukan (unifikasi?) sisi kuantitatif-teoritis dan kuantitatif-empiris dari ilmu ekonomi. Selain itu, ini juga berkaitan dengan bagaimana membuat pendekatan ilmu ekonomi menjadi apa yang disebut 'constructive and rigorous thinking' yang mendominasi natural science.


Referensi
Greene, W.H. (2003). Econometric analysis, 5th edition. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
_____

 1. Saya mengenal buku Greene dari penulis blog keren ini (Bang Erwin).
2. Perdebatannya akan menarik disini, kok bisa natural science dibanding-bandingkan dengan social science?
3. Dosen ekonometrika saya di kelas selalu menekankan bahwa ekonometrika selain merupakan alat analisis, juga merupakan salah satu cabang ilmu di economics. Makanya ia disebut econometrics.


2014/01/08

Janet Yellen, Wanita Pertama yang Memimpin The Fed

Dalam beberapa bulan terakhir saya kembali membaca ulang karya Alan Greenspan, Abad Prahara, seorang mantan gubernur Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang menjabat 5 kali berturut-turut. Buku tersebut sangat bagus disarankan bagi mahasiswa ekonomi, karena isinya yang kaya akan wawasan, analisis, dan renungan mendalam dari seorang pengambil kebijakan di negara seperti Amerika Serikat (di lain tulisan akan saya bahas mengenai sosok Alan Greenspan).

Well, sebenarnya bukan itu maksud tulisan ini. Jika membaca berita ekonomi beberapa hari terakhir, maka kita akan ingat sosok Janet Yellen. Ya, dia adalah sosok yang akan menggantikan Ben Bernanke. Dia akan memimpin bank sentral tersebut (bank sentral itu bukan bank seperti definisi umumnya, tapi 'bank-nya bank', semacam Bank Indonesia lah kalau di Indonesia, walau ada perbedaannya. Saya sarankan untuk mengikuti kuliah ekonomi moneter jika ingin mendalami masalah ini). Kalau kita anggap Amerika Serikat adalah perekonomian terbesar di dunia, dan bank sentralnya adalah bosnya bank di Amerika, maka bisa kita ambil kesimpulan ibu ini akan menjadi semacam pemimpin bosnya bank sentral terbesar di dunia.

Apa yang menarik dari Janet Yellen selain ia adalah wanita pertama yang akan memimpin lembaga tersebut?

1. Ia adalah istri dari George Akerlof. Mahasiswa ekonomi wajib tahu orang ini. Dia bersama Stiglitz dan Michael Spence adalah pemenang nobel ekonomi tahun 2001 untuk kontribusinya di bidang information economics. Kalau kita sering menggunakan istilah asymmetric information, ya merekalah yang mengembangkan analisis mengenai itu. Mahasiswa ekonomi juga wajib membaca paper Akerlof yang sangat fenomenal mengenai mobil bekas yang membawa ia memenangkan nobel ekonomi (di tulisan lain akan saya bahas).

2. Setelah mengetahui bahwa ia istri dari George Akerlof, saya menemukan beberapa paper yang ia tulis bersama suaminya tersebut! Misalnya paper ini.

3. Ibu ini lulus S-1 dengan summa cumlaude. Summa cumlaude itu, ya, ber-IPK 4.00 atau sempurna. Ia juga memberikan pidato perpisahan pada wisudanya, atau istilahnya Valedictorian (terima kasih kepada mas Danny Wibowo atas informasi ini).

4. Lulus Ph.D di Yale University, di bawah supervisor James Tobin dan Joseph Stiglitz (kedua orang itu adalah pemenang nobel ekonomi juga)


5. Anak mereka (Janet Yellen dan George Akerlof) associate profesor di Warwick University.

6. Ia bertemu dengan George Akerlof di sebuah cafetaria di The Fed.

7. Kabarnya, she's Keynesian (hehehe).


Sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/Janet_Yellen
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/01/07/0811223/Janet.Yellen.Perempuan.Pertama.yang.Pimpin.The.Fed
http://www.washingtonpost.com/business/economy/janet-yellen-confirmed-as-next-fed-chief/2014/01/06/14b38582-76f2-11e3-8963-b4b654bcc9b2_story.html
http://www.mercurynews.com/business/ci_24682811/fed-chief-janet-yellen-set-become-one-worlds
CV George Akerlof: http://emlab.berkeley.edu/~akerlof/docs/cv.pdf

Biaya Transaksi Pendidikan

Selain sebagai investasi, pendidikan juga dapat dilihat sebagai suatu proses transaksi. Jika kita sepakat pendidikan merupakan suatu proses transaksi yang meliputi perpindahan individu dari suatu komunitas (keluarga) ke komunitas lain (lembaga pendidikan). Oleh karena itu, transaksi memerlukan biaya yang dikenal sebagai biaya transaksi yaitu biaya pencarian informasi, biaya negosiasi dan biaya pengawasan, pemaksaan dan pelaksanaan (Mburu, 2002). Dalam kasus pendidikan biaya transaksi difokuskan pada biaya yang dikeluarkan untuk melakukan negosiasi dan biaya pencarian informasi.

Biaya transaksi dalam pendidikan setidaknya dapat diukur dari biaya yang dikeluarkan untuk mencari informasi mengenai kualitas pendidikan yang ditawarkan suatu institusi pendidikan (energi, waktu, uang). Informasi relatif cukup mudah didapatkan jika anda berada di sebuah kota besar yang memiliki jaringan informasi yang baik. Lebih jauh, banyak pihak yang dapat membantu anda mencari informasi terkait pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, mulai dari guru di sekolah, konsultan, bahkan bisa didapatkan gratis di pameran hotel berbintang. Sementara nasib calon siswa di suatu kampung yang jauh dari kota besar cukup sulit untuk memperoleh informasi, sedangkan di wilayah mereka berdomisili sekolah berkualitas yang diharapkan tidak ada. Informasi yang ada sangat terbatas dan bahkan tidak ada.

Tidak adanya informasi yang didapat seorang anak sebelum memasuki sekolah tidak hanya terjadi di pendidikan tinggi. Kasus lain terjadi pada saat seorang lulusan SMP ingin meneruskan ke SMA atau SMK. Umumnya mereka akan kesulitan mendapatkan informasi apa bedanya SMA dan SMK, sehingga jangan heran banyak yang tersesat ketika memilih sekolah lanjutan, orang tua yang diharapkan pun tidak dapat membantu banyak. Ditambah lagi pemerintah absen dalam wujud dan program untul membantu calon siswa menentukan kemana mereka akan melangkah.

Biaya pendidikan dapat dikalkulasikan dalam nilai uang, tetapi biaya transaksi begitu abstrak namun menjadi masalah yang cukup menjanjikan masalah. Jangan bicara banyak tentang mahalnya biaya pendidikan, jika untuk bisa mencari informasi tentang pendidikan saja susah. Masalah biaya pendidikan (mungkin) dapat diatasi dengan  mengalokasikan 20 persen APBN untuk pendidikan dan mengoptimalkan penggunaannya. Tetapi masalah biaya transaksi mungkin tidak akan (pernah) bisa diselesaikan bahkan dengan 100 persen APBN untuk anggaran pendidikan.Selain yang telah disebutkan, masih banyak hal-hal lain yang termasuk biaya transaksi pendidikan.

Fokus kita kebanyakan hanya pada biaya nominal yang dibayarkan saja, padahal ada biaya lain yang membebani para siswa dan orang tuanya. Selain biaya transaksi, kita juga perlu menghitung biaya pendidikan yang tidak langsung misalnya untuk pakaian, uang jajan, biaya transportasi dan lainnya yang mana menurut hipotesis saya berpengaruh signifikan terhadap proses pendidikan. Hal ini menyiratkan bahwa 20 persen untuk pendidikan belum tentu solusi untuk meningkatkan apa-apa di pendidikan itu, karena bisa jadi masalahnya ada di luar sektor pendidikan sementara anggaran dipatok pada sektor itu saja.

*Tulisan ini merupakan bagian dari tulisan utuh yang dimuat di Buletin HMJ IESP Undip 2011

Kembali Nge-Blog Disini

Halo 2014. Saya kembali akan menulis di blog ini, karena blog yang di sebelah ternyata sudah dihapus dan belum bisa diakses kembali.
Setelah 2 tahun tidak pernah menulis di blog, mulai tahun ini saya akan kembali menulis di blog. 2 tahun kemaren tahun yang penuh dengan kesibukan (hehehe) kuliah. Berhubung saya sudah di tahun terakhir kuliah dan tinggal menyelesaikan skripsi, maka banyak waktu senggang untuk melakukan banyak hal, termasuk menulis.
Selain itu, nama blognya pun sudah saya ganti, jadi lebih keren (dikit). Jangan khawatir, posting di blog ini tidak akan saya hapus.
Berhubung banyak yang minta saya menulis lagi di blog, terutama ide-ide yang tertulis di twitter, maka saya putuskan untuk menulis versi panjangnya saja.


Sudah hampir 2 tahun tidak menulis, saatnya kembali meregangkan otot jari dan otak (sambil nulis skripsi).

Welcome.