2011/05/17

Menengok Kembali Masyarakat Ekonomi ASEAN


Sejak ditandatanganinya perjanjian ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tahun 1992 hingga menguatnya wacana Masyarakat Tunggal ASEAN yang diwujudkan dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) untuk hal ekonomi. bahkan dua wacana yang cukup menarik perhatian publik adalah rencana pembentukan ASEAN Infrastructure Fund dan ASEAN Single Currency yang diangg...ap beberapa kalangan tidak realistis. Belajar dari Eropa yang sudah terlebih dahulu mencicipi Regionalisme--paham atau kecenderungan untuk mengadakan kerja sama yg erat antarnegara dalam satu kawasan-- yang kini boleh mengkalim dirinya sukses dalam mencanangkan mata uang tunggal, Euro. Uni Eropa membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menuju ke suatu integrasi secara menyeluruh untuk menyatukan dan mengharmonisasikan masyarakat tunggal tersebut.

Perdagangan antar negara dalam teks ekonomi dikatakan turut mendorong Industrialisasi, kemajuan transportasi, globalisasi, dan kehadiran perusahaan multinasional. Namun kali ini ASEAN memiliki misi yang lebih ambisius dari sekedar perdagangan antar negara dalam regional, tetapi juga menyangkut hal-hal lainnya, bahkan hingga pembentukan mata uang tunggal ASEAN yang akan diwadahi dalam Masyarakat EKonomi ASEAN.

Cetak biru MEA memuat beberapa poin penting tentang akan seperti apa rencana ini kedepannya. Adapun hal tersebut meliputi Pasar tunggal dan Basis Produksi, Kawasan Ekonomi Kompetitif, Pembangunan Ekonomi yang Adil dan Integrasi ke Perekonomian Global (Mudrajat Kuncoro, 2009). Hal penting yang dapat kita ambil hikmahnya adalah selama ini apabila regionalisme lebih menekankan pada sektor perdagangan, tetapi MEA mencakup berbagai aspek hingga produksi dan arus bebas jasa dan tenaga kerja. Hal ini secara jangka panjang mampu memberikan impact positif terhadap pembangunan ekonomi dalam negeri, terutama dalam hal transfer teknologi dan ilmu pengetahuan. Bagaimana pesiapan Indonesia dalam menghadapi MEA, terutama dalam mendandani sektor industri agar tidak kalah dengan industri negara lain.

Laju pertumbuhan industri non migas turun signifikan dari angka 7,51 persen pada tahun 2004 dan pada tahun 2009 hanya tumbuh sekitar 3,97 (Statistik Perdagangan, 2009). Sedangkan kontribusi industri non migas tersebut pada PDB pada tahun 2004 sebesar 90,73 persen mengalami penurunan pada tahun 2005 menjadi 88,61 persen. Pada tahun 2007 mengalami peningkatan terbesar menjadi 89,45 persen dan kembali turun menjadi 88,75 persen pada tahun 2009 (Statistik Perdagangan, 2009).

Pemerintah dan dunia usaha perlu bersinergi untuk merencanakan dan mengimplementasikan berbagai grand strategi dalam menyongsong MEA. Selain itu berbagai hal lain seperti fasilitasi ekspor-impor, investasi, infrastruktur terutama jalan dan listrik, serta beberapa kebijakan pengidentifikasian industri dan memetakan industri berdasarkan keunggulan daerah dan klaster. Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bagaimana menciptakan konektivitas antar pulau di Indonesia, sebab selama ini permasalahan infrastruktur dan pengangkutan antar daerah di Indonesia, terutama angkutan laut. Karena selama ini angkutan laut sangat berperan dalam hal pengangkutan sektor primer dari satu wilayah ke wilayah lain.

Oleh karena itu, salah satu pilar penting untuk tugas penting pemerintah dan swasta untuk bersama-sama bekerja keras dalam menggenjot sektor industri agar mampu memiliki daya saing yang kuat. Peningkatan daya saing industri dalam jangka panjang akan meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia dalam percaturan ekonomi global maupun regional.

Sandy J. Maulana
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro
Aktif di Lembaga Pers Mahasiswa EDENTS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar