Oleh: Sandy Juli Maulana
Setelah melalui dua kali periode pemerintahan yang dipimpin oleh SBY, telah banyak program pembangunan yang ditelurkan oleh dinasti “Indonesia Bersatu” baik episode satu dan dua. Diantara proyek tersebut adalah revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan (2005), program peningkatan iklim investasi (2006), program kawasan ekonomi khusus (2009), dan jelas yang paling hingar bingar adalah program koridor ekonomi pada 2011 (Kompas, 20 Juni 2011).Namun, hasil dari program tersebut patut dipertanyakan. Apakah sebenarnya yang ingin dicapai oleh pemerintah? Apabila hal tersebut telah jelas dan tegas, selanjutnya adalah bagaimana mengeksekusi program tersebut di lapangan. Memang, pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2011 diperkirakan dapat mencapai 6,4% (Detikfinance.com). Hal ini ditopang oleh masih kuatnya permintaan domestik dan membaiknya sisi eksternal. Kinerja ekspor juga masih cukup tinggi sejalan dengan pemulihan ekonomi global. Tetapi semua hal tersebut semestinya bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. SBY dalam suatu kesempatan juga telah mengatakan bahwa trickle effect down yang selama ini dipercaya ternyata tidak dapat mampu bekerja dengan baik. Mengapa?
Secara teori, peran pemerintah dalam menelurkan kebijakan ekonomi dibutuhkan sebagai rangsangan agar perekonomian mampu kembali bergejolak jika mengalami kelesuan. Namun, jika pemerintah terlalu banyak ikut campur tangan dalam perekonomian dikhawatirkan akan menimbulkan crowd-out. Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh dua kebijakan besar, yaitu fiskal dan moneter. Menjadi dilematis ketika pemerintah sangat ingin memajukan perekonomian dalam jangka pendek dan panjang, namun tidak mempertimbangkan bagaimana mengikutsertakan seluruh elemen bangsa dalam pembangunan itu sendiri.
Semestinya secara makro, seluruh kebijakan pemerintah mampu diarahkan pada penciptaan iklim yang baik baik untuk berinvestasi dan produksi. Pemerintah harus mampu menekankan perannya dalam menjaga kondisi perekonomian agar pasar mampu bekerja secara efisien. Apabila pasar dapat berjalan secara efisien, maka peran pemerintah disini kembali menjadi sangat vital, terutama dalam hal regulasi. Contohnya, banyak aturan daerah yang semestinya mampu meningkatkan pembangunan di regional tersebut ternyata menjadi batu sandungan bagi investor. Menurut sebagian kalangan pemerintah daerah cenderung ingin meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa melihat pertimbangan jangka panjang dari kebijakan tersebut. Dari hasil pengkajian yang telah dilakukan Kemendagri, terdapat 448 perda yang tidak bermasalah atau telah sesuai dan 152 perda bermasalah (Bataviase.co.id).
Dari sisa waktu yang hanya tinggal menunggu hitungan tahun ini, pemerintahan SBY-Boediono harus mampu membawa suatu terobosan pembangunan yang nantinya akan bisa diwariskan pada kabinet selanjutnya. Prioritas yang harus dilakukan adalah terkait dua hal. Pertama, masalah hukum dan politik yang harus kembali dipikirkan oleh pemerintah.
Kedua, masalah pembangunan dan ekonomi. Hal tersebut menjadi sangat kompleks dan terintegrasi satu dengan yang lainnya. Pada intinya adalah dalam jangka pendek meningkatkan pembangunan dan daya saing perekonomian agar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun dalam jangka panjang, pemerintah harus mampu membuat perekonomian mandiri dengan menciptakan kondisi perekonomian yang berlandaskan pada mekanisme pasar yang efisien. Karena dengan pasar yang bekerja secara efisien maka stabilitas kesejahteraan masyrakat akan bergerak sesuai dengan arah pembangunan tanpa ada timbulnya distorsi politik dalam pembangunan. Sehingga siapapun pemimpin atau kabinetnya maka masyarakat dan swasta telah mampu bekerja secara mandiri tanpa ada ketergantungan terhadap kinerja pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar