Siapa pun setuju bahwa pendidikan memiliki peran penting dalam proses pembangunan suatu bangsa Pendidikan menjadi salah satu titik tolak jika suatu negara ingin berhasil dalam proses pembangunannya. Pendidikan diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang merupakan salah satu pilar dalam transformasi kemajuan sosial masyarakat.
John C. Bock menyebutkan dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992), bahwa peran pendidikan adalah sebagai : (a) ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa; (b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan pendorong perubahan sosial; dan (c) untuk meratakan kesepakatan dan pendapatan. Ketiga peran tersebut jika diidentifikasi, maka akan mengerucut pada proses pembangunan yang berkarakter dan berkualitas.
Tidak dapat dipungkiri bahwa posisi strategis pendidikan ini membuat pemerintah selalu menaruh perhatian cukup besar pada proses pengembangan pendidikan. Salah satu bukti dari hal tersebut adalah anggaran yang disediakan dalam APBN untuk pendidikan mencapai 20%. Tidak heran kenapa pemerintah di berbagai negara mencoba berinvestasi di bidang pendidikan secara masif, karena ada anggapan bahwa investasi di bidang pendidikan akan memberikan multiplier effect yang lebih besar dari sekedar investasi di bidang sumber daya yang lain. Pertanyaannya adalah, apakah dengan bagian 20% dari APBN tersebut sudah mampu membuat pendidikan di Indonesia mampu menghasilkan SDM berkualitas untuk pembangunan?
Indikator Pembangunan
Dalam hal mengukur sejauh mana lepas landas proses pembangunan itu, teori ekonomi menyebutkan bahwa pembangunan dapat diukur dengan menakar tingkat kemajuan ekonomi dan beberapa indikator sosial seperti pendidikan, buta huruf, kualitas pelayanan kesehatan, serta perumahan yang layak (Todaro, 1983). Sehingga pembangunan itu tidak hanya melulu diukur dari aspek ekonomi dan fisik seperti berapa banyak jalan yang dibangun atau seberapa besar pendapatan per kapitanya, namun juga memiliki bumbu-bumbu indikator sosial lain, salah satunya pendidikan. Jika kita mengukur kemajuan pendidikan dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), maka akan terlihat kemajuan dalam hal tersebut. Angka IPM menunjukan peningkatan yang pada tahun 1996 sebesar 69,7, sedangkan pada tahun 2009 sebesar 71,76 (BPS). Namun bagaimanakah fakta di lapangannya? Hal ini tentu saja menyangkut masalah input, proses, dan outputnya.
Dalam hal input, pendidikan menyangkut bagaimana suatu keluarga sebagai kekuatan sosial pertama yang dapat membentuk calon individu berkualitas. Keluarga diharapkan mampu berperan aktif dalam hal tersebut, sehingga individu memiliki karakter dalam mengembangkan potensi di pranata sosial lainnya. Jika merunut dalam hal prosesnya, tentu saja mencakup hal yang sangat luas dan menyebar. Mulai dari keluarga proses pendidikan itu berlangsung, hingga proses mengenyam pendidikan di lembaga formal. Sedangkan outputnya adalah bagaimana setelah individu ini memiliki kemampuan dan karakter dapat berkontribusi dalam membangun negara. Salah satu komponen lembaga pendidikan formal itu adalah pendidikan tinggi.
Di Balik Kemapanan Pendidikan Tinggi dan SNMPTN
Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah. Lembaga ini dapat berupa perguruan tinggi negeri yang dikelola oleh negara dan perguruan tinggi swasta. Negara dalam hal ini pemerintah berkewajiban menyediakan sarana pendidikan bagi warganya, termasuk perguruan tinggi negeri. Salah satu pintu masuk menuju institusi milik negara ini adalah Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Ada apa dengan SNMPTN? Adakah yang aneh?
Sesuai dengan namanya, maka ini adalah pola seleksi nasional yang tidak membedakan seluruh peserta baik dari Sabang sampai Merauke. Diharapkan dengan adanya seleksi nasional, maka semua calon mahasiswa yang ingin menempuh pendidikan tinggi tidak terganjal dengan berbagai masalah sepele yang ada. Namun benarkan pelaksanaan SNMPTN ini telah efektif dalam proses pemerataan pendidikan?
Tiga hal yang selama ini menjadi penyakit siluman dalam pelaksanaannya menurut penulis adalah terkait hal teknis SNMPTN, diskriminasi seleksi, dan komitmen pemerintah dalam memajukan pendidikan nasional.
Hal yang disebutkan pertama adalah masalah sepele namun bagi sebagian orang cukup mengganggu. Yang paling menonjol adalah mengenai tempat pelaksanaan tes tertulisnya. Sebagian orang merasa SNMPTN telah berada pada jalur yang benar. Namun, pelaksanaannya terutama di berbagai daerah dirasa cukup mengenaskan. Salah satu kasus adalah bagaimana pemilihan tempat seleksi SNMPTN di Kalimantan Tengah. Di salah satu provinsi dengan angka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tertinggi di Indonesia ini, SNMPTN dilakukan di pusat pemerintahan. Untuk mencapainya, calon pemimpin di beberapa kabupaten disana harus menempuh jarak relatif perjalan kurang lebih tiga hari. Bandingkan dengan Ujian Nasional (UN) yang selalu dapat menjangkau berbagai pelosok di Indonesia. Bahkan perguruan tinggi ningrat ini sangat jarang menyentuh daerah pedalaman dan pelosok yang sebenarnya lebih membutuhkan dalam hal sosialisasi mengenai pentingnya pendidikan. Jika pemerintah mampu melaksanakan ujian nasional hingga ke pelosok daerah, mengapa SNMPTN yang begitu pentingnya hanya bisa dijangkau di pusat pemerintahan?
Masih terkait dengan hal diatas, diskriminasi kelihatannya telah terjadi dalam pelaksanaannya. Pemerintah seakan tutup mata dengan keluhan mengenai susahnya mengakses ke perguruan tinggi ningrat ini atau mereka (calon mahasiswa) yang belum berteriak keras tentang hal ini.
Kembali pada kasus diatas, setelah menempuh lelahnya perjalanan selama tiga hari non-stop, calon mahasiswa ini kembali dihadapkan pada masalah lain, yaitu kemampuan mereka dalam bersaing dalam memperebutkan kursi kosong PTN. Mereka harus berhadapan dengan kerasnya persaingan bersama calon mahasiswa lain yang berasal dari kota besar yang notabene telah menempuh kursus atau bimbingan belajar (Bimbel) untuk menghadapi seleksi ini. Bagaimana mereka yang di daerah mampu bersaing jika kualitas pendidikan di daerah pelosok masih rendah dengan sarana dan prasarana yang memprihatinkan. Walaupun BPS merilis bahwa angka partisipasi murni Perguruan Tinggi meningkat dari 7,92 pada tahun 1994 menjadi 10,3 pada tahun 2009, namun perlu dipertanyakan apakah peningkatan ini mencakup semua penduduk di seluruh wilayah tanah air atau hanya berputar di kota besar saja.
Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah menyelaraskan antara materi pengajaran di sekolah dengan ujian nasional dan SNMPTN. Selain itu bisa juga ditempuh pelaksanaan SNMPTN layaknya ujian nasional yang selama ini dicanangkan pemerintah. Hal-hal semacam ini memang pada dasarnya sulit untuk dilakukan, namun kembali lagi pada komitmen pemerintah untuk memajukan pendidikan di seluruh wilayah tanah air Indonesia.
Jika masyarakat di daerah saja kesulitan dalam mengakses pendidikan tinggi yang layak, bagaimana proses pembangunan itu berhasil dan merata? Pantas saja otonomi daerah yang selama ini dikeluhkan banyak pihak karena terbentur masalah SDM tidak dapat diselesaikan. Pendidikan tinggi terutama di daerah sebagai pilar menciptakan sumber daya manusia berkualitas saja tidak diperhatikan oleh pemerintah. Terlihat tidak adanya komitmen pemerintah untuk memeratakan pendidikan di seluruh wilayah tanah air. Sehingga bisa disimpulkan pemerintah memang tidak ingin memeratakan pembangunan di Indonesia.
Mahasiswa S-1 Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro
Aktif di LPM Edents
Tidak ada komentar:
Posting Komentar