Selain sebagai investasi, pendidikan juga dapat dilihat sebagai suatu proses transaksi. Jika kita sepakat pendidikan merupakan suatu proses transaksi yang meliputi perpindahan individu dari suatu komunitas (keluarga) ke komunitas lain (lembaga pendidikan). Oleh karena itu, transaksi memerlukan biaya yang dikenal sebagai biaya transaksi yaitu biaya pencarian informasi, biaya negosiasi dan biaya pengawasan, pemaksaan dan pelaksanaan (Mburu, 2002). Dalam kasus pendidikan biaya transaksi difokuskan pada biaya yang dikeluarkan untuk melakukan negosiasi dan biaya pencarian informasi.
Biaya transaksi dalam pendidikan setidaknya dapat diukur dari biaya yang dikeluarkan untuk mencari informasi mengenai kualitas pendidikan yang ditawarkan suatu institusi pendidikan (energi, waktu, uang). Informasi relatif cukup mudah didapatkan jika anda berada di sebuah kota besar yang memiliki jaringan informasi yang baik. Lebih jauh, banyak pihak yang dapat membantu anda mencari informasi terkait pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, mulai dari guru di sekolah, konsultan, bahkan bisa didapatkan gratis di pameran hotel berbintang. Sementara nasib calon siswa di suatu kampung yang jauh dari kota besar cukup sulit untuk memperoleh informasi, sedangkan di wilayah mereka berdomisili sekolah berkualitas yang diharapkan tidak ada. Informasi yang ada sangat terbatas dan bahkan tidak ada.
Tidak adanya informasi yang didapat seorang anak sebelum memasuki sekolah tidak hanya terjadi di pendidikan tinggi. Kasus lain terjadi pada saat seorang lulusan SMP ingin meneruskan ke SMA atau SMK. Umumnya mereka akan kesulitan mendapatkan informasi apa bedanya SMA dan SMK, sehingga jangan heran banyak yang tersesat ketika memilih sekolah lanjutan, orang tua yang diharapkan pun tidak dapat membantu banyak. Ditambah lagi pemerintah absen dalam wujud dan program untul membantu calon siswa menentukan kemana mereka akan melangkah.
Biaya pendidikan dapat dikalkulasikan dalam nilai uang, tetapi biaya transaksi begitu abstrak namun menjadi masalah yang cukup menjanjikan masalah. Jangan bicara banyak tentang mahalnya biaya pendidikan, jika untuk bisa mencari informasi tentang pendidikan saja susah. Masalah biaya pendidikan (mungkin) dapat diatasi dengan mengalokasikan 20 persen APBN untuk pendidikan dan mengoptimalkan penggunaannya. Tetapi masalah biaya transaksi mungkin tidak akan (pernah) bisa diselesaikan bahkan dengan 100 persen APBN untuk anggaran pendidikan.Selain yang telah disebutkan, masih banyak hal-hal lain yang termasuk biaya transaksi pendidikan.
Fokus kita kebanyakan hanya pada biaya nominal yang dibayarkan saja, padahal ada biaya lain yang membebani para siswa dan orang tuanya. Selain biaya transaksi, kita juga perlu menghitung biaya pendidikan yang tidak langsung misalnya untuk pakaian, uang jajan, biaya transportasi dan lainnya yang mana menurut hipotesis saya berpengaruh signifikan terhadap proses pendidikan. Hal ini menyiratkan bahwa 20 persen untuk pendidikan belum tentu solusi untuk meningkatkan apa-apa di pendidikan itu, karena bisa jadi masalahnya ada di luar sektor pendidikan sementara anggaran dipatok pada sektor itu saja.
*Tulisan ini merupakan bagian dari tulisan utuh yang dimuat di Buletin HMJ IESP Undip 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar