Saya bingung ingin memberi judulnya apa, yasudahlah saya beri saja judul "Teori Ekonomi dan Game Theory Sholat Jumat" biar kelihatan keren, gitu. Perhatian, tulisan ini tidak akan membahas kenapa saya mau sholat jumat, tapi membahas bagaimana kita (saya saja deh) memilih tempat duduk dan keputusan pergi ke masjid.
Hari jumat, kondisi hujan. Saya segera mandi dan bersiap-siap ke masjid untuk sholat jumat. Saat berjalan ke masjid, saya terpikir mengenai insentif dalam ilmu ekonomi dan teringat kasus kalau kita para lelaki datang ke masjid untuk sholat jumat.
Ketika masuk masjid dan memilih tempat duduk, maka anggaplah pilihan tempat duduk kita itu
acak. Kita bisa duduk di mana saja saat mendengarkan khutbah jumat.
Pertanyaannya bisakah kita memodelkan pilihan tempat duduk tersebut? Sebelum membahas model, ada baiknya meninjau masalah tersebut dari sudut pandang ilmu ekonomi.
Insentif dan Norma
Secara sederhana, saya mengartikan ilmu ekonomi adalah mengenai pilihan-pilihan dan insentif. Saya kira, kasus memilih tempat duduk waktu mendengarkan khutbah ini adalah contoh yang baik untuk menjelaskan ilmu ekonomi dan hubungannya dengan ilmu sosial lain.
Pertanyaan: mengapa beberapa orang (sebagian besar malah, hmm, atau mungkin saya saja?) memilih duduk tidak pada di barisan yang di depan dan masih kosong? Sampai kita sering mendengar pada acara-acara lain mengenai permintaan untuk mengisi kursi atau tempat yang kosong di depan terlebih dahulu.
Ekonom dan mahasiswa ekonomika akan menjawab orang-orang tidak memilih tempat duduk di depan karena tidak ada insentifnya. Kenapa harus duduk di depan, toh duduk di belakang juga sama saja. Kecuali, duduk di barisan paling depan ada insentifnya, misalnya dijanjikan akan mendapatkan sesuatu, misalnya pahala yang lebih besar daripada yang duduk di barisan belakangnya.
Sampai pada titik ini, mahasiswa ekonomika akan memodelkan perilaku duduk jamaah dengan mekanisme insentif. Orang yang tahu bahwa duduk di depan pahalanya lebih besar, maka akan memilih duduk di depan. Ketika insentif jelas dan diketahui, maka masalah masyarakat terpecahkan oleh perilaku setiap individu, yaitu pilihan. Hal inilah yang dibahas dalam ilmu ekonomi.
Sekarang bayangkan ketika orang tahu atau tidak tahu ada pahala untuk duduk di baris yang lebih dekat dengan imam. Namun, misalkan, ada semacam norma yang mengatur bahwa yang sholat di baris paling depan adalah orang-orang tertentu saja, misal orang yang dianggap tua dan paling alim. Nah, disini norma-norma membentuk struktur sosial yang bekerja 'berlawanan' dengan mekanisme insentif dan pilihan individu. Pilihan individu jadi terbatasi (ini bisa menjadi klaim masalah sosiologi dalam masyarakat, bisa jadi tetap masalah ilmu ekonomi mengenai 'batasan').
Apa konsekuensi adanya hal-hal semacam norma ini bagi outcome? Norma ini mendistorsi hasil agregat pilihan individu dengan insentif. Ketika ada tempat yang kosong waktu di depan (karena adanya norma semacam itu), mungkin akan ada orang yang tidak mendapat tempat duduk di dalam masjid. Padahal ada tempat kosong di depan. Ini bisa dianggap sebagai, dalam bahasa ilmu ekonomi, inefisiensi.
El Farol Bar Problem
Selain hal-hal di atas, ketika saya sampai di masjid saya menemukan masjid tidak penuh sebagaimana jumat-jumat lain. Biasanya saya menemukan masjid akan penuh dan saya terpaksa sholat di luar (ketahuan suka menunda berangkat hingga qamat). Tapi, hari itu masjid tidak seperti biasanya, karena tidak banyak yang berangkat. Bagaimana memodelkan fenomena kedua ini?
Begini.
Ketika selesai mandi, saya melihat keluar jendela cuaca lagi hujan dan saya berpikir untuk tidak berangkat ke masjid, sholat di rumah saja lah (padahal sholat jumat dan jarak rumah ke masjid cuma 200 meter). Karena hujan dan sudah agak telat, saya berpikir bahwa kalau berangkat pun saya akan tidak akan mendapatkan tempat di dalam (seperti jumat-jumat yang lalu). Konsekuensinya, saya akan sholat di halaman masjid di bawah rintikan air hujan. Maka atas dasar perhitungan rasional tersebut, saya seharusnya tidak berangkat.
Tapi, saya tetap berangkat ke masjid. Sesampainya di masjid, saya menemukan masjid tidak seramai biasanya. Saya heran. Hal tersebut membuat saya berpikir, apa yang terjadi. Maka saya berhipotesis bahwa, karena semua orang berpikir atas dasar perhitungan rasional seperti yang saya lakukan pada paragraf sebelumnya, maka masjid akan tidak seramai semestinya. Semua orang berpikir mereka akan lebih baik jika tidak pergi karena jika pergi dan masjid ramai, mereka ada kemungkinan tidak mendapatkan tempat di dalam masjid, dan duduk di luar sementara sedang hujan.
Saya pun duduk mendengarkan khutbah, dan berpikir, kasus ini mirip dengan
El Farol Bar Problem, yang dikembangkan oleh
W. Brian Arthur. Sederhananya, el farol bar problem menjelaskan bahwa seseorang akan mendapatkan utilitas yang lebih tinggi jika pergi ke tempat, misalnya cafe X jika orang-orang yang memilih pergi ke cafe tersebut kurang dari jumlah tertentu. Jika orang yang pergi ke cafe X tersebut melebihi jumlah tertentu, maka utilitas yang diperoleh akan lebih besar jika si dia tidak pergi ke cafe X dan tetap tinggal di rumah.
El Farol bar problem ini yang kemudian dikembangkan menjadi
minority games. Kemudian ada pula konsep yang berkaitan, yaitu
inductive reasoning. Saya mengetahui el farol problem dan minority games ini dari membaca working paper salah satu peneliti di
Bandung FE Institute mengenai intervensi bank sentral terhadap kurs, rejim kurs, dan perilaku agen-agen ekonomi di pasar valas.
Nah, begitulah hasil merenung khutbah di waktu khutbah jumat minggu ini. Saya akui, sholat saya tidak khusyuk.